Kami tak pernah sadar bahwa sebenarnya Allah telah mengikat hati kami jauh sebelum kehidupan ini ada. Benar-benar tak sadar sampai aku bertemu dengannya pada suatu sore yang berkalut gerimis di sebuah halte busway. Keadaan kami sangat berbeda dengan pertemuan-pertemuan kami di masa SMA dulu. Aku tidak memandangnya dengan tatapan kebencian seperti dulu, mungkin karena sejak hari kelulusan sekolah ia sering hadir dalam pikiranku. Aku juga tidak punya nafsu untuk mengacak-acak rambutnya atau mencakar wajahnya, mungkin karena hatiku dipenuhi penyesalan atas sikap diamku melihat kepergiannya. Juga tidak ada rasa dendam atau kekesalan meski dulu daftar sikap jahatnya padaku sudah teramat panjang, mungkin karena rasa dendam itu telah berubah menjadi bulir perasaan indah yang sulit kuungkapkan. Sungguh aku berdiri membeku di hadapannya. Jarak kami cukup jauh, tapi aku melihatnya. Tidak ada hal yang seharusnya bisa membuatku mengenalinya, tapi aku tau itu dia. Aku tau bahwa pria yang duduk manis di kursi tunggu halte busway dan terpisah 10 meter dariku itu adalah Seol Jeong Woo. Teman sekaligus musuh besarku di masa SMA. Pria keturunan Korea itu menoleh, pandangannya terdiam saat berada di arahku. Dan saat itulah mata kami bertemu…
****
Pak Edi memanggilku dengan suara parau menahan marah, “Ratu, kesini kau!! Apa pula maksud tulisan di kertas ujianmu hah?? Berani kali anak kici macam kau menulis ini!!”
Dengan gemetaran aku menghampiri Pak Edi ke mejanya, aku benar-benar tak tau kenapa ia begitu marah padaku. Kelas hening, aku rasa teman-temanku ikut menahan nafas menunggu hukuman apa yang bakal ditimpakan orang Batak itu padaku. Pak Edi segera menyodorkan kertas ujian milikku. Dan aku cuma bisa melongo melihat tulisan di halaman terakhir kertas ujianku.
“Bulu hidung Bapak ini mirip banget kaya kain pel di rumahku, ah salah, mirip akar beringin yang umurnya udah ratusan tahun. Bulu ketek Bapak juga kaya hutan hujan tropis di Kalimantan. Haha…”
Belum sempat aku menjelaskan, Pak Edi sudah menjatuhkan vonis untukku. “Kau yang selesaikan kerjaan tukang cat itu. Tembok depan kelas 1-1 sampai 1-7 kau yang cat, nanti biar kuberhentikan tukang-tukang itu. Mengerti kau Ratu?!!!” Ia menggebrak meja dan langsung meninggalkan kelas.
Darahku benar-benar naik semua ke kepala, aku tau siapa biang keroknya. Dan benar dugaanku, saat kubalikkan badan aku melihat Jeong Woo terpingkal-pingkal di sudut kelas sambil memegangi perutnya. Aku benar-benar ingin mencakar mukanya, tapi ternyata Pak Edi sudah ada di depan pintu kelas, lengkap dengan kaleng cat di tangannya!!!
Aku sebenarnya tak tau pasti apa sebabnya Jeong Woo dan aku bermusuhan. Sejak berkenalan di kelas satu hingga kini kelas tiga, kami selalu punya alasan untuk bertengkar dan mencari akal untuk saling menjatuhkan. Awalnya kami hanya saling ejek tak penting, tapi lama-kelamaan kualitas dan kuantitas pertengkaran kami meningkat pesat. Aku sangat-sangat tidak menyukai caranya yang arogan, sok kaya, sok keren, dan selalu menghinaku. Kuhentakkan kuas cat dengan kasar ke tembok. Aku membayangkan tembok itu adalah Jeong Woo, agar aku bisa puas mengacak-acak wajahnya.
“Annyeong haseyo, unni?? Kita impas ya, ini balasan karena kemaren kamu sudah bikin sepedaku kempes. Bisa bayangin gak, kemaren aku jalan 4 km! gak ada yang bisa jemput aku dan ditambah lagi aku gak punya duit untuk naek angkot!!”
Kulebarkan senyum sinisku padanya, “Pergi gak!!? Mau mandi pake cat haa!!”
Ia berlari sambil menyandang tas bututnya dan hilang setelah melewati taman sekolah. Aku menghela nafas dalam-dalam tapi aku harus memegang janjiku bahwa ini akan menjadi pertengkaran terakhir kami. Kemaren sore aku sudah berjanji pada Allah dan diriku sendiri bahwa aku tidak akan menjadi seorang pendendam. Kuingat terus materi-materi dari Mbak Diana yang sejak lima bulan lalu menjadi guru ngajiku. Sabar, sabar.. aku harus bisa memancarkan mabda islam dari diriku. Aku harus berusaha cuek dengan Jeong Woo, sekaligus belajar mendakwahkan betapa mulianya ajaran islam pada penganut nasrani seperti dia. Aku pasti bisa Ya Allah..
Aku pulang dengan langkah terseok kelelahan. Kuselesaikan pekerjaan plus dari Pak Edi dengan semua tenaga yang kumiliki. Sekarang sudah jam sembilan, itu artinya aku harus jalan kaki sampai rumah. Di kota kecil seperti Purwokerto ini, angkot hanya beroperasi sampai jam lima sore. Jadi aku mau tidak mau aku harus menjaga kakiku agar tetap melangkah sampai ke rumah. Aku sangat terkejut saat seorang ibu menggenggamkan uang lima ribuan pada tanganku. Ia tersenyum dan pergi. Ya Allah,, kerudung dan seragam sekolahku yang penuh bekas cat cukup membuat penampilanku mirip pengemis jalanan. Jeong Woo………..!!!
Jeong Woo menjegal kakiku dan membuatku terjatuh saat esoknya kami berpapasan di gerbang sekolah. Ia bersiul dan melenggang santai meninggalkan aku.
“Kalo jalan ati-ati ya…”, ejeknya sambil tertawa.
Aku hanya bisa menggemeretakkan gigi-gigiku menahan amarah. Kalau saja aku tidak ingat janjiku pada Allah, aku pasti sudah berlari dan menarik kakinya agar ia terjatuh seperti aku. Tapi syukurlah, Allah membuatku tetap mengingat janji itu.
Seharian ini aku berdiam diri di kelas, sibuk mengalihkan amarahku pada soal kimia yang susahnya setengah idup! Jeong Woo sudah berkokok dan mengoceh macam-macam tentang aku. Sebenarnya telingaku sudah teramat jenuh mendengarnya dan tanganku terasa gatal untuk melemparkan sepatu ke mulutnya agar ia berhenti bicara. Tapi aku mencukupkannya sebatas keinginan dalam hati. Aku segera berlari ke musholla dan sholat sunnah dua rakaat di sana. Aku memohon supaya Allah menambahkan kesabaran ke dalam hatiku. Tak lupa aku mendoakan Jeong Woo agar hatinya bisa melunak terhadapku. Dan kulalui hari itu dengan aman karena aku tidak mengepalkan tinjuku ke pipi Jeong Woo, tidak mengejeknya ‘ayam sayur’, tidak mengempiskan ban sepedanya, tidak menyembunyikan bola basketnya, tidak merebut jatah makan siangnya di kantin, dan tentu saja tidak membalas kejahilannya kemarin. Alhamdulillah…
Aku tau Jeong Woo mengamatiku sejak 10 menit yang lalu, dia berkali-kali menggelengkan kepalanya sambil terus memperhatikan sikapku. Sampai akhirnya mulutnya terbuka, “Unni..!!!”
Aku pura-pura tidak mendengar panggilannya. “Yyya, unni !!! Hwe?? Abis nelan kura-kura ya?? Apa obat wasirnya udah abis??”
Aku memandangnya sejenak sambil tersenyum, lalu kembali asyik dengan buku biologiku.
“Pabbo!!”, Jeong Woo meninggalkanku dengan keheranan. Mungkin dia hampir gila karena sudah sebulan ini aku samasekali tidak menanggapi ulahnya, dan ia tak lagi punya jurus baru untuk menjahiliku. Saat dengan sengaja ia menumpahkan isi perut kodok ke rokku di ruang praktek biologi, aku segera membersihkannya tanpa berkata apa-apa. Saat hapeku berdering kencang pada jam pelajaran dan aku dimarahi Bu Linda, aku menerimanya juga tanpa berkata-kata. Padahal aku tau Jeong Woo yang merubah profil hapeku saat kutinggal di kelas untuk makan siang. Dia juga mengacaukan tulisan pidatoku untuk English speech contest, hingga aku terpaksa hanya tidur dua jam malam harinya untuk menyalin tulisan itu. Tapi kutemui dia keesokan harinya dengan raut wajah santai seperti tak terjadi apa-apa. Sebenarnya aku selalu terkena darah tinggi tiap kali dia berbuat seperti itu. Tapi aku tidak mau membalasnya. Aku berusaha menahannya. Tak ada yang tau sudah berapa puluh pensil yang kupatahkan untuk mengalihkan amarahku pada Jeong Woo. Tidak ada yang tau bahwa aku makan 3X lebih banyak dari biasanya untuk menghilangkan kekesalanku padanya. Sungguh hanya Allah dan Mbak Diana yang tau betapa aku berusaha untuk bersabar…
Saat perpisahan sekolah kami pun tiba. Pengumuman minggu lalu menyatakan tidak ada yang tidak lulus. Seluruh siswa SMU N 1 Purwokerto angkatan 2005 lulus!
Alhamdulillah. Jadi kami bisa menghadiri perpisahan ini dengan lega. Aku mengantar ayah dan ibuku ke bangku wali murid. Aku melihat Jeong Woo juga tengah mengajak papa mamanya ke situ. Sejenak kuamati orang tua Jeong Woo, bahkan aku sangat senang melihat mamanya mengenakan Hanbok, pakaian tradisional wanita Korea. Aku baru tahu bahwa papa Jeong Woo adalah pengusaha besar Korea yang punya bisnis sukses di beberapa kota di Indonesia. Ah Jeong Woo, gayanya yang urakan sama sekali membuatku tak tahu bahwa sebenarnya dia cukup mampu untuk berpenampilan lebih baik. Aku hanya tersenyum geli, selama ini aku selalu berpikir Jeong Woo berlagak sok kaya, ternyata dia memang kaya! Untunglah empat bulan ini aku berhasil untuk tidak pernah membalas kenakalannya. Malah Jeong Woo terlihat lesu akhir-akhir ini, dan siasat liciknya untuk mengerjaiku tiba-tiba menguap entah kemana. Kami tidak bertengkar tapi juga tidak saling sapa. Hanya kebisuan dan tatapan dingin yang menjadi kebiasaan dalam tiap pertemuan kami di hari-hari terakhir sekolah.
Aku mengamati Jeong Woo yang tersenyum dan asyik berbincang dengan orang tuanya. Tapi segera kualihkan pandanganku saat beberapa detik kemudian ia berbalik memandangku. Teman-temanku menangis saat acara perpisahan selesai. Tak terkecuali aku. Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Tiga tahun cukup untuk menoreh sekian banyak kenangan yang bisa membuat kita tertawa dan sedih ketika kita mengingatnya suatu hari nanti. Dan saat inilah masa tiga tahun SMAku berakhir. Aku akan melanjutkannya dengan tiga tahun yang lain, yaitu masa pendidikanku di sebuah perguruan tinggi ikatan dinas di Jakarta. Begitu juga teman-temanku. Mereka pasti akan melewati tahun-tahun lain dalam kehidupan mereka. Aku hanya berdoa semoga tiap-tiap detik yang kami lewati bisa dinilai ibadah oleh Allah.
Jeong Woo datang menghampiri saat aku sedang menangis dalam pelukan teman-temanku. Aku menatapnya sejenak.
“Mianhamnida…untuk semuanya. Mianhamnida”, ucapnya sambil tertunduk. Mungkin aku salah dengar atau apa, tapi aku merasa Jeong Woo menangis sesenggukan. “Ratu, terimakasih untuk empat bulan kesabaranmu. Jongmal gomawo…”
Jeong Woo segera berbalik pergi. Dan entah kenapa aku juga merasakan buliran hangat mengalir di pipiku. Baru kali ini aku merasa menyesal pada Jeong Woo karena tidak menghabiskan masa tiga tahun ini dalam persahabatan yang hangat dengannya. Tapi aku tidak berusaha memanggil Jeong Woo. Kubiarkan ia pergi. Beberapa bulan ini aku berusaha menahan amarahku padanya dengan diam, maka saat ini aku juga harus membiarkan diriku diam melihat kepergiannya. “Jeong Woo…terimakasih telah membuatku punya alasan untuk bersabar. Kamsahamnida. Annyeong hikaseyo, Oppa…”, bisikku dalam hati.
****
Aku menggenggam amplop putih yang di diberikan oleh Mbak Hanif, guru ngajiku. Huff, siapa lagi. Ini biodata ikhwan keempat yang menghampiriku dalam dua minggu ini. Laporan job training, bisnis jilbab, jadwal kajian, dan les privat sebenarnya membuatku tak sempat untuk memikirkan itu. Bukan tak mau menikah, tapi aku merasa belum saatnya. Jadi kubiarkan amplop itu dalam tasku. Nanti malam aku akan istikharah, batinku..
Entah kenapa aku tak ingin membuka isi amplop itu, ini di luar kebiasaan. Tapi aku benar-benar tidak mau melihat dulu seperti apa ikhwan yang mencalonkan dirinya menjadi suamiku. Aku bercengkrama dengan Rabbku dalam istikharah panjangku. Jika ia yang terbaik dekatkan kami, jika tidak maka jauhkanlah Ya Rabb..Amiin. Aku terlelap usai istikharah. Aku melihat Jeong Woo di sana. Ya! Dia duduk di halte busway. Saat melihatku, ia segera berlari ke arahku sambil menangis memohon, “Tolong jangan terlalu lama. Waktuku tidak banyak…”
Aku bangun dengan nafas tersengal, aku sangat takut. Mimpi macam itu!! Hampir mirip kejadian beberapa minggu lalu saat aku bertemu Jeong Woo di halte busway. Hanya saja Jeong Woo tidak menangis seperti dalam mimpi. Dia hanya tersenyum saat menyadari ada aku di sana. Aku tidak sempat berkata apa-apa karena busway yang kutunggu sudah datang. Jeong Woo berlari menyusulku, tapi aku hanya sempat melihat wajahnya yang pucat saat pintu busway tertutup. Aku tersenyum padanya dan pertemuan pertama kami setelah empat tahun berakhir di situ. Aku minta persetujuan Allah tentang ikhwan si pengirim biodata, tapi kenapa justru Seol Jeong Woo yang ada di mimpiku ?? Aku segera beristighfar karena aku takut setan menjadi penyusup di antara istikharahku.
Dengan sedikit malas kukenakan jilbabku yang berwarna hijau tosca, kupadukan dengan kerudung bercorak kupu-kupu dengan warna senada. Kulihat lagi jadwalku minggu ini. Setor pesanan jilbab, udah. Ngerjain laporan kantor, udah. Bikin proposal seminar remaja, udah. Beli kain ke Cipadu, udah. Ngisi kajian, udah. Alhamdulillah semua sudah selesai, jadi sekarang aku memang punya waktu untuk baca buku di toko Granatdia. Aku sebenarnya lebih menginginkan badanku terbaring di kasur, tapi jika itu terjadi maka kegelisahanku tidak akan hilang. Tadi pagi merupakan kali ketiga aku mengalami mimpi yang hampir sama. Aku bermimpi Jeong Woo sambil menangis memohon, hanya saja tempat dan keadaannya berbeda dengan mimpi pertama dan kedua.
Sudah kususuri puluhan rak buku di toko itu, tapi tidak ada satu bukupun yang membuatku tertarik untuk kubaca. Entah kenapa hari ini jantungku berdetak jauh lebih cepat, membuatku nafasku terasa berat. Tiba-tiba teleponku berdering. Mbak Hanif..
“Assalammua’alaikum. Ada apa Mbak?”
“Wa’alaikumsalam. Ratu lagi dimana? Lagi sibuk nggak ??”, suara Mbak Hanif terdengar terburu-buru.
“Aku lagi di toko buku, Mbak. Gak lagi sibuk kok, ada apa Mbak? Kok kaya lagi buru-buru?”
Terdengar Mbak Hanif menarik nafas panjang. “Ikhwan yang terakhir gimana? Ratu cocok gak, udah istikharah belum?”
“Oohh.. aku malah belum buka amplopnya sama sekali Mbak. Tapi udah istikharah. Cuma isyaratnya aneh Mbak, gak sesuai sama doaku” “Gak sesuai gimana maksudnya?”
“Aku mimpi tiga kali, tapi yang aku mimpiin malah teman SMAku yang nasrani.” “Apa??!! Ratu tolong cepet ke Rumah Sakit Indrayana!”
Mbak Hanif menutup telpon tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan salam. Tapi mendengar nada suaranya yang tergesa-gesa, aku segera berlari keluar toko dan memanggil taksi untuk melesat ke Rumah Sakit. Mbak Hanif yang sudah menungguku di depan pintu masuk segera mengajakku berlari ke dalam. Aku makin bingung dengan sikap pembimbingku ini. Di depan kamar nomor 38, dia menarik lenganku untuk masuk ke dalam. Kulihat suami mbak Hanif, Ustadz Jazuli dan istrinya, dan juga dokter dengan seorang perawat di kamar itu. Aku makin bingung dengan keadaan ini.
Mbak Hanif membimbingku mendekati ranjang pasien. Dan aku terhenyak saat melihat siapa yang terbaring di sana. Bibirnya kering, wajahnya pias, kulitnya yang putih terlihat sangat pucat, infus dan tabung oksigen melekat di tubuhnya. Laki-laki itu membuka matanya, dan air matanya langsung meleleh saat melihatku. Aku tak bisa berkata apa-apa, bahkan untuk sebuah kata sapaan. Bibirku seolah terkunci rapat, sama seperti keadaan perpisahan kami empat tahun lalu.
Laki-laki itu membuka mulutnya, “Saya menunggu ukhti, dua tahun ini saya terus menunggu. Kenapa ukhti tidak cepat datang?, ia menarik nafasnya perlahan, “Saya selalu berdoa agar Allah berkenan memberikan saya kesempatan untuk berada di samping ukhti.”
Aku makin tenggelam dalam tangisku, bermacam perasaan benar-benar memadu dan bergejolak dalam pikiran. Aku tidak ingin bertanya, aku tidak ingin berkata-kata. Kubiarkan diriku mengambang dalam kebingungan seperti yang kurasakan empat tahun terakhir ini. Kupandangi lekat wajah pria yang pernah sangat kubenci sekian tahun lalu, namun terkadang juga muncul sebagai bayangan halus dan menjadi pemicu keinginan tak wajar dalam hatiku. Mungkin baru sekarang kusadari bahwa selama ini kami tidak benar-benar berpisah. Mungkin kami memang tak pernah bertemu, tapi ada ikatan yang senantiasa membuat kami merasa dekat. Aku pernah menganggap diriku hampir gila, karena terkadang kelebat sosok laki-laki ini hadir dalam pikiranku. Dan sekarang aku tau, ternyata ikatan hati kamilah yang selalu membuatku merasa seperti itu. Hatiku gerimis, entah kenapa tiba-tiba perasaanku dipenuhi rasa cinta untuknya.
Sesaat kemudian laki-laki itu melanjutkan perkataannya. Suaranya sangat lemah, aku berusaha menangkap kata-kata dari bibirnya, “Ana Uhibbuki fillah ya ukhti... Jika tidak sekarang, berarti Allah telah menyiapkan waktu yang lebih baik untuk kita.”
Aku hampir tak mampu mendengarnya, tapi lama-kelamaan suara itu bergema keras di telingaku. Menjadikannya sebagai bait cinta terindah yang pernah kudengar. Beberapa detik kemudian semua yang ada di ruangan segera mengucap Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un…
Aku masih terpaku. Semuanya seperti mimpi. Aku bahkan tidak bisa merasakan kakiku. Perlahan kubuka amplop yang diberikan Mbak Hanif padaku dua minggu lalu. Amplop itu terus berada di tasku tanpa pernah kubuka.
BIODATA
Assalammu’alaikum. Izinkan saya memperkenalkan diri..
Nama : Seol Jeong Woo / Husam Al Farisi (sejak dua tahun lalu setelah
memeluk islam)
TTL : Busan, Korea Selatan, 17 April 1986
Kekurangan : tidak terhitung
Kelebihan : tidak ada
Kriteria istri : Insya Allah semua kriteria istri sholihah ada pada ukhti Leonaratu
Motivasi menikah : menggenapkan dien sebelum penyakit Thalasemmia mayor yang saya
derita menghantarkan saya pada Illahi Rabbi
Afwan ukhti, biodata saya sangat singkat. Saya tidak punya cukup kekuatan untuk menulis lebih banyak. Lagipula saya yakin ukhti sudah sangat mengenal saya, karena kita pernah melalui tiga tahun kebersamaan di SMU N 1 Purwokerto. Saya tunggu jawaban ukhti secepatnya.
Wassalammu’alaikum.
Penulis biodata itu kini telah terbaring kaku di hadapanku. Sekarang baru kusadari apa arti mimpi-mimpiku. Aku hanya bisa beristighfar sebanyak-banyaknya untuk menepis penyesalanku yang tiada terkira….
Nb: Untuk the real Seol Jeong Woo yang berada nun jauh di negeri Ginseng sana, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatNya untukmu. Aamiin.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar